Thursday 29 December 2016

Dieng, Bhumi Mataram Kuno

Desember... bulan ke 12 dan akhir dari semua bulan dalam satu tahun. Iyah, sekarang kita sudah masuk ke bulan Desember lagi gaes. Karena apa? Karena kemarin kita sudah selesai melewati bulan November! *plakkk!
Menurut pendapat orang-orang sih, bulan Desember ditandai oleh 2 hal yang sangat penting. Yaitu yang pertama, menurut orang Jawa, Desember merupakan singkatan dari Deres-derese Sumber (deras-derasnya sumber mata air). Ini berarti -seharusnya- dalam perhitungan orang-orang Jawa, di bulan Desember akan banyak hujan dan membuat sumber mata air menjadi deras. Itu tanda yang pertama. Sedangkan tanda yang kedua adalah.. Desember ditandai dengan maraknya ulang tahun mereka yang bernama “Desi”. Gak tau kan kalian? Nah makanya ini aku kasih tahu. Si Desi itu kebanyakan lahirnya pada bulan Desember. Jadi mereka berulang tahun pada bulan desember juga! Keren kan apa yang aku katakan?
          Selain tanda-tanda absurd, gak jelas dan gak seru seperti yang sudah aku beritahukan diatas, bulan Desember juga ditandai dengan... banyaknya orang yang liburan! So do I! Aku juga liburan! Jangan salah dan jangan menyangka Cuma kalian aja yang bisa liburan. Aku juga bisa tauuuuuu!!
          Betewe, ngemeng-ngemeng masalah liburan, tahun ini rencananya mau liburan kemana nih? Mau kesana? Kemari? Kesitu? Ke.. ah kemana sajalah yang penting jangan lupa mempersiapkannya sedari jauh agar liburan yang direncanakan berjalan dengan sempurna dan sesuai dengan apa yang diangan-angankan.


          Oh iya, pernah liburan ke Dieng? Itu lho, salah satu tempat wisata yang menjadi salah satu unggulan provinsi Jawa Tengah. Tepatnya sih di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Jika belum pernah kesana, tak ada salahnya jika menjadikan Dieng sebagai salah satu destinasi wisata untuk liburan teman-teman kali ini. Sebenarnya tidak terlalu mahal sih untuk kesana. Aksesnya pun sekarang menjadi jauh lebih mudah karena jalan menuju kesana sudah diperbaiki meskipun tidak bisa diperlebar (tentu sajalah, kan memang jalannya naik gunung. Kalo diperlebar nanti malah membahayakan pengguna jalan karena semakin berimpitan dengan jurang di sisi luar gunungnya)
          Apa sih yang bisa kita dapatkan di Dieng? Sebuah pertanyaan yang pasti akan timbul ketika kita memutuskan  untuk pergi ke suatu tempat. Sangat wajar sih. Karena kita tidak mau nantinya tempat yang kita tuju ternyata mengecewakan dan tidak begitu mempesonakan seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Iyahh, gak usah khawatir gaes.. sebenarnya kita gak akan rugi kok kalo mrmutuskan untuk pergi ke Dieng. Akan ada banyak hal yang bisa kita temukan disana. Mulai dari peninggalan sejarah, pemandian, telaga, hingga suasana yang penuh dengan petulangan ketika kita menyusuri jejak sejarah dikawasan Bhumi Mataram.


          Ketika memijakkan kaki disana, pikiranku melayang jauh ke belakang. Ke wilayah ini ketika zaman masih feodal dan wilayah ini masih menjadi wilayah Mataram Kuno. Jika kita kembali ke masa itu (abad 7-8 Masehi), tentunya daerah ini masih merupakan daerah liar, penuh dengan hutan dan juga pastinya penuh dengan binatang liar. Sungai yang masih deras, jernih dan pastinya penuh dengan semak belukar yang membuat nyali manusia biasa seperti kita menciut. Jika kita tilik dari lokasi, sangat mungkin pula daerah ini dulunya sangat jauh dari pusat kerajaan dan aksesnya tentu saja sulit. Harus naik gunung dengan rute yang ... menyeramkan dan juga tentunya dengan alat transportasi yang sangat sederhana.
          Apa gak salah ya mereka membangun kompleks percandian disini? Lalu bagaimana cara membangunnya? Bagaimana cara akses kesananya? Coba kita bayangkan hal itu terjadi pada abad ke 7, Ketika dinasti Sanjaya berkuasa dan berpengaruh kuat di Bhumi ini. Bisa gak teman-teman bayangkan keadaan dari daerah ini pada 13 abad yang lalu? Tentu suasana mistis akan terasa kuat dan... kita seakan kerdil dengan mereka yang pada saat itu mendiami tempat ini. Mereka sudah mampu menciptakan kebudayaan yang adiluhung yang tak lekang digerus waktu pada zaman mereka. Mungkin mereka meninggalkan candi-candi itu kepada kita bukan hanya sebagai warisan, tapi mungkin juga sebagai pengingat dan... mungkin malah sebagai semacam kode untuk kita pecahkan agar kita mengetahui rahasia-rahasia yang ingin mereka sampaikan kepada kita.
          Back to Dieng..
Jika kita pergi ke Dieng, mungkin bayangan pertama kita adalah kompleks percandian dengan beberapa jenis candi. Namun pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Karena selain menawarkan kompleks percandian peninggalan dinasti Mataram kuno, di Dieng kita juga dapat menikmati keindahan kawah Si Kidang dan juga telaga 3 warna yang eksotik. Seperti juga ketika aku kesana. Selain mengunjungi komplek percandian yang sangat keren (candi Pandawa yang terdiri dari candi Bima, Arjuna dan beberapa candi lain) serta candi semar yang dalam pewayangan merupakan pamomong dari para pandawa, aku juga mengunjungi kawah si Kidang. Kenapa dinamakan kawah si Kidang? Menurut bapak-bapak yang aku tanyai sih karena kawah ini suka berpindah-pindah tempat. Kadang disini, kadang disitu, malah kadang juga disana. (perlu dicontoh nih dalam kehidupan bertetangga. Biar lebih afdhol harus sering silaturahim dan pindah-pindah silaturahimnya. Biar gak kalah sama kawah si Kidang). tapi maaf, karena bau sulfur yang tak bisa dikompromikan, aku gak bisa mengambil foto Kawah Si Kidang dari Dekat..
Areal Kawah si Kidang...
          Selain 2 obyek wisata diatas, hemmm... aku juga mampir mejeng di telaga 3 warna. Awalnya sih pesimis aja dengan namanya. Karena gak yakin juga sih, masak ada telaga yang mempunyai warna beda-beda? Sampai tiga pula. Kalo danau Kelimutu di Nusa Tenggara Timur kan bisa dinalar, karena letaknya terpisah-pisah. Lha ini dalam satu telaga ada 3 warna sekaligus.. tapi pikiran pesimisku akhirnya sirna sudah ketika sampai di tujuan. Hemm... ternyata memang benar. Dalam telaga itu terdapat 3 warna yang berbeda. Semakin membuat yakin dan bangga dengan keindahan yang Indonesia miliki. Sayangnya, ketika aku disana keadaan telaganya agak menyusut. Jadi kurang maksimal dalam menikmati keindahannya. Selain itu, sangat disayangkan pula keadaan sekitar telaga yang cenderung tidak terawat dan benyak sampah berserakan. (hoeee.. pihak yang berwenang, noohh banyak sampah disana! Bersihin dong biar semakin cantik telaga 3 warnanya...). hihihi...
Telaga 3 Warna...
          Puas di Dieng, Komplek Percandian, museum, Kawah si Kidang, Telaga 3 warna waktunya berburu oleh-oleh. Ada beberapa oleh-oleh yang bisa kita dapatkan disini. Selain oleh-oleh santap ditempat seperti kentang goreng, jamur goreng dan ubi goreng dadakan (bukan Cuma tahu bulat yang digoreng dadakan lhoo... masyarakat Dieng sudah lama punya kentang, jamur dan ubi goreng dadakan), kita juga bisa membawa oleh-oleh untuk yang ada di rumah. Rekomendasinya sih hanya 2. Yang pertama adalah Carica. (biasanya dibuat manisan dan dikemas dalam toples, dan sekarang sudah berkembang lagi menjadi kemasan yang lebih kecil dari plastik). Dan oleh-oleh yang kedua adalah.... ekhemmm... purwaceng!. Purwaceng adalah tumbuhan endemik daerah Dieng dan memiliki banyak khasiat (untuk jelasnya search aja deh. Nanti malah dikirain iklan). Biasanya purwaceng ini diolah menjadi serbuk dan dijadikan minuman atau campuran minuman. Jika berkunjung ke Dieng, akan banyak kita temukan olahan produk dengan bahan dasar purwaceng. Mulai dari purwaceng asli yang berbentuk bubuk dan tinggal seduh dengan air panas, hingga olahan untuk teh ataupun kopi. Jadi tinggal disesuaikan dengan selera masing-masing saja ya.
          Oke, mungkin cukup dulu dengan cerita tentang Dieng ini. Lain kali akan aku ceritakan pengalaman liburan yang lainnya... aku M. Fuad S. T, mengucapkan selamat menjemput tahun baru 2017. Semoga semua resolusi untuk tahun depan tercapai dan semoga pula kehidupan kita aken menjadi lebih baik lagi...
Om Toilet om...



Thursday 1 December 2016

Dokumentasi Kegiatan Dek Adeeva Shakila Afsheen Almeera


















Inferno


Akhirnya bisa dapat juga filmnya Robert Langdon yang satu ini. Tahun kemarin, ini merupakan salah satu film yang aku tunggu-tunggu. Sekuel film adaptasi dari novel Dan Brown ini memang selalu menghadirkan semacam apa ya... semacam rasa penasaran untuk mengetahui kisah petualangan Robert Langdon dalam memecahkan misteri yang dihadapinya! Sepertinya kalo jadi dia, hidup gak bakalan bisa tenang deh. Sebagai pakar simbolog terkenal, seringkali tiap kali ada masalah yang berhubungan sama simbol, pasti akan melibatkan dirinya. Termasuk simbol-simbol yang digunakan anak alay yang mempunyai kehidupan 2 dimensi juga perlu memanggil dirinya kali..
Jujur sih.. dalam film-filmnya Dan Brown sebelumnya, meski gak bisa dibilang spektakuler, tapi ya cukup bagus lah (apalagi kalo dibandingin sama sinetron indonesia yang judulnya Anugerah Anak Tukang Bubur Cinta Jalanan Naik Haji atau sinetron ular-ularan naga indosiar yang efek CGI nya amit-amit itu pastilah filmnya Langdon menang banyak). Dalam film sebelumnya, adegan-adegan keren yang sebelumnya aku bayangkan akan menjadi heboh ternyata gak sehebat yang dideskripsikan oleh Dan Brown dalam novelnya. Ketika mambaca The Da Vinci Code ataupun Angel and Demons, sebenarnya pikiranku berharap nantinya filmnya memiliki paling tidak kemiripan dengan apa yang ditulis dalam novelnya. Namun ternyata tidak. Ada beberapa scene dalam novel yang tidak di-live-kan dalam filmnya. Bisa jadi karena... pemainnya takut kena Banned kali ya?
          Seperti contoh, analisis Langdon dalam novel the da vinci code mengenai “pelemahan” kekuasaan wanita yang terstruktur dan tersistematis dalam peradaban manusia tidak dicantumkan sama sekali di versi filmnya. Ada lagi analisisnya mengenai peranan agama-agama samawi dalam pelemahan peranan wanita pun sama sekali tak disinggung. Analisis lain yang tidak dijelaskan secara gamblang di film adalah ketika Langdon menerangkan kepada Teabing tentang ayat-ayat injil yang dalam analisisnya merupakan kunci dari pernikahan Yesus dan keberadaan keturunan Yesus. Yah, pasti lah jika hal itu diangkat dalam filmnya akan menjadi pelanggaran terhadap keyakinan tertentu, jadi maklum sajalah untuk hal ini.. (untung dalam novelnya kalimat-kalimat Langdon tidak disensor sama sekali. Coba deh bayangin kalo novelnya disensor. Pada bagian sensornya kita Cuma akan menemukan huruf xxxxxxx.xxxxxxxxxxx xxxxxxxxx. Xxxxxxxx..... apa coba maksudnya? Masak iya mau menggunakan sensor mozaik?)
          Dalam film Angel and Demons (2009) malah lebih banyak lagi adegan yang dihilangkan. Padahal aku sudah membayangkan dan berimajinasi tentang sebuah ledakan yang maha dahsyat di akhir cerita, dan juga tentunya efek-efek manusia terbakar yang bisa jauh lebih real daripada yang disajikan dalam film. But overall kedua film tersebut tentunya efek dan animasinya jaaauuuuhhhhhh lebih keren daripada efek sinetron ular-ularan atau naga-naga-an milik Indosiar yang... terlalu mengharukan untuk dideskripsikan..
          Kembali ke film inferno, sebenarnya aku juga berharap banyak dalam film ini. Tapi aku terus terang gak mau jadi seorang spoiler mengenai jalannya film ini. Sebenarnya agak kecewa dengan munculnya film ini. Karena, jujur sih aku lebih menunggu film dari novelnya Dan brown yang The Lost Symbol. Menurutku isinya akan lebih membuat shock (bahasa alaynya ditulis syookkkkk!!!) yang the lost symbol. Aku sudah membayangkan ketika dalam filmnya itu, Langdon mendapatkan undangan dari “mereka” dengan media potongan tangan manusia yang membentuk simbol yang ah.... sudahlah... tapi bener deh, The Lost Symbol jika nantinya disesuaikan dengan novelnya akan menjadi lebih keren daripada film lainnya... (harapan yang ah... sebagai pengobat galau karena ternyata yang difilmkan terlebih dahulu malah yang inferno... bukan yang the lost symbol..)
          Dalam film inferno ini, masih tetap saja dipenuhi dengan teka-teki yang harus dipecahkan oleh Langdon dan Dr. Sienna Brook. Sedikit spoiler (ini juga dari situsnya kok)...
“Ketika Robert Langdon terbangun pada sebuah rumah sakit di Italia dengan kondisi lupa ingatan, dia harus bekerja sama dengan Dr. Sienna Brooks, dan bersama-sama mereka harus berkejaran dengan waktu, melintasi Eropa untuk menggagalkan rencana besar yang mematikan”
Masih ingin spoiler?
Mungkin gambarnya saja ya dibawah..

Date released        : 28 October 2016
IMDb rating          : 6,4 (35,287 user)
Star                      : Tom Hanks, Felicity Jones, Irrfan Khan.
         
 

Tuesday 1 November 2016

Arti Lambang Gerakan Pramuka SMAN 1 Pamotan (Ambalan Bima Sena dan Arimbi)

Badge Bima Sena of SMAPA

Haaahh.... lama gak bisa update blog ini gara-gara sekarang kesibukan sebagai tukang wira-wiri semakin bertambah. Sampai lama gak bisa mampir ke blog ini.. aslinya sih ya, jarang ngeblog gara-gara gak ada bahan buat nulis. Jadi biar agak keren ya pakai alasan jadi orang sibuk. Gitu kan kelihatannya lebih gimana gitu di mata masyarakat umum... waaaaauuuuu... *suara jangkrik mulai membuat bulu ketek berdiri.
Begini asal muasal sampai aku harus turun tangan menulis blog ini lagi. Kemarin tuh ya, kemarinnya kemarin, tiba-tiba ada yang BBM aku (eiiitssss... jangan underestimate dulu. Begini-begini sekarang aku udah punya BB lho. Gak kayak dulu. Sekarang aku mah orangnya keren. Pengen bukti? Noohh, istri dan anakku aja keren. Pasti aku juga keren dong... *penonton protes). sampai dimana tadi? Oh ya sampai asal muasal cerita kenapa aku nulis postingan ini. Begini.. ketika itu, aku di BBM oleh salah satu guru daru SMAN 1 Pamotan (maaph pemirsah, aku gak akan memberitahu kalian jika yang BBM + miskol 1 x dengan durasi 3 detik itu namanya Pak Agus Isnanto. Biar ini tetap menjadi rahasia kami berdua saja. Agar semua gak tahu jika yang menghubungiku adalah pak Agus Isnanto.)
Beliau waktu itu bertanya tentang arti dari lambang Ambalan SMA kita dulu (mungkin karena saat itu beliau sedang mengisi acara kepramukaan di SMAN 1 Pamotan dan lupa dengan arti dari lambang ambalan kita dulu. Lalu kenapa tanyanya ke aku? Dulu aku juga sekolah disana. Jangan salah, jelek-jelek gini juga aku sekolah SMA Tauk.. jangan suka menghina gitu dongg..). Sreeeepppp.... aku berfikir sesaat sebelum menjawab pertanyaan beliau (yah kira-kira seminggu lah aku berfikirnya... *bisa kelar itu acara Pramuka kalau aku berpikirnya seminggu. Ngaco amat...). karena mengalami pikiran buntu dan tidak mampu menjangkau kenangan yang terkubur beberapa ratus tahun yang lalu akhirnya aku minta untuk dikirimkan gambar ambalan Pramuka SMAN 1 Pamotan. (aku ingatnya saat itu hanya nama Ambalan yaitu Arimbi dan Bima Sena, serta kata-kata “Krida Tyasing Hagni” yang terukir di Badge ambalan kita dulu).
“Pak Dhe... aku terangke Badge Bimasena”. Kira-kira begitulah permintaan dari Pak Agus Isnanto waktu itu. Haiisshh... sebenarnya sulit saat itu untuk menjelaskan. Lupa-lupa ingat dan juga seingatku dulu kami gak pernah diberikan penjelasan secara ekslusif mengenai hal ini. Namun jika ada gambarnya pasti bisa teringat kembali (mudah-mudahan). Ketika aku coba searching ke simbah dengan keyword “Lambang Bimasesa” atau “Lambang Arimbi” atau pencarian dengan keyword sejenis yang nyerempet-nyerempet itu, ternyata juga simbah belum ada yang unggah dalam bentuk jpeg atau turunan vektor. Yah akhirnya mau ndak mau ya minta dikirimin Pak Agus.. dan Alhamdulillah kemarin gambar vektor sederhana dari Ambalan SMAN 1 Pamotan sudah jadi dan bisa dijadikan sebagai gambar di postingan kali ini. (mohon jangan dihina apalagi dipuji. Gambar yang aku buat masih dalam tahap beta, jadi masih butuh banyak penyempurnaan disana-sini)
Kembali lagi ke topik. Setelah melihat gambar badge Arimbi kurang cahaya yang dikirimkan Pak Agus (Mungkin karena memotretnya tidak dengan menggunakan cinta kasih dan kesetiaan.. Wtf, Masa bodo ah dia poto badge nya siapa. Xaxaxaxa) akhirnya ingatanku kembali ke zaman ketika masih mengenakan seragam pramuka dulu. Iya, dulu aku juga aktif di Pramuka. Kalo ndak percaya sini deh aku tunjukin kalo aku juga masih bisa melakukan tepuk pramuka... tepuk pramuuuka! Prok prok prok! Prok prok prok! Prok prok prok prok prok prok prok!! (hormat dan salim untuk pak Didik Pudianto yang menjadi mentor Pramuka kami ketika KML 2013 dulu). Sekilas setelah melihat badge Ambalan SMAPA, akhirnya bisa juga mengingat-ingat makna apa yang terkanding didalamnya.. mari kita jabarkan bersama-sama (Untuk pihak-pihak terkait, kakak senior, adek junior Bapak Ibu Guru SMAPA, mohon diberi masukan dan dibenarkan jika apa yang tertulis disini merupakan suatu kekeliruan. Terima kasih sebelumnya.. _/\_ )
          Seperti yang kita tahu, dalam lambang gerakan pramuka SMAPA (badge Bimasena ataupun Arimbi) terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.     Warna Dasar Biru.
Lambang dasar dari badge ambalan SMAPA adalah biru (ini biru atau abu-abu siiihh? Kok warnanya rancu gini?). Ini menandakan bahwa ambalan ini berada di tingkatan SMA yang identik dengan warna biru atau abu-abu. Makna lain adalah warna identitas SMA Pamotan (meski bangunannya kebanyakan berwarna krem, namun warna biru dahulu sering digunakan dalam berbagai seragam di SMAPA. Baik itu seragam olah raga guru, ataupun kaos olahraga yang dipakai oleh tiap angkatan di SMAPA. Contohnya, seragam olahraga kami angkatan masuk 2003 dan lulus 2006, meski seragam olahraga kami didominasi warna putih, namun tetap ada pernik birunya di setrip kaos kami. Begitu juga dengan angkatan adik tingkat kami dulu). Jadi warna biru dapat disimpulkan menjadi 2 hal yang pertama, ambalan Bimasena dan Arimbi berkedudukan di tingkat SMA. Dan yang ke 2, warna biru merupakan warna identitas SMAPA sebagai sekolah dengan jenjang SMA.
2.    Bendera Merah Putih.
Ini artinya jelas bahwa keberadaan Ambalan Bimasena dan Arimbi serta SMAPA-nya berada dalam naungan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baik itu secara de facto ataupun de yure. Posisi bendera yang berada dibawah Tulisan “SMAN 1 Pamotan” dan terletak dibagian atas mengartikan bahwa SMA Pamotan berdiri dan berpijak di Tanah Indonesia, letak diatas mengartikan bahwa negara Indonesia haruslah selalu dijunjung tinggi.
3.    Tulisan SMA N 1 Pamotan.
Tanpa dijabarkan panjang lebar luas tinggi volume pun kita semua tahu jika tulisan ini merujuk pada tempat dimana Ambalan Bimasena dan Arimbi berkedudukan.
4.    Angka 17 07
Angka ini pun merujuk pada lokasi tempat ambalan ini berada. 17 adalah nomor Pramuka untuk Cabang Rembang (ini berarti lokasinya ada dalam wilayah kabupaten Rembang. Dalam penomoran Pramuka, lengkapnya adalah 11.17.07 dimana angka 11 menunjukkan Nomor Pramuka Kwartir Daerah Jawa Tengah, 17 menunjukkan Kwartir Cabang Rembang dan 07 Menunjukkan Kwartir Ranting Pamotan)
5.    2 Lambang Pramuka (Cikal) yang berwarna Hijau.
Lambang 2 cikal yang berwarna hijau dapat diartikan sebagai berikut:
-      Arti pertama, Kita masih hijau baik itu dalam hidup ataupun dalam ilmu pengetahuan Kepramukaan. Karena posisi kita masihlah baru dan muda. Sehingga dilambangkan dengan hijau.
-      Arti kedua warna hijau adalah perwakilan dari alam / nature. Jadi bisa dikatakan bahwa Pramuka SMAPA adalah gerakan Pramuka yang beorientasi pada Alam.
-      Dua cikal menandakan bahwa setiap sesuatu pasti memiliki pasangan. Seperti baik dengan buruk, yin dan yang, siang dan malam, kiri dan kanan. Namun pada lambang ini, bisa pula dikatakan ini adalah perlambangan dari laki-laki dan perempuan, atau bisa pula ini berarti keseimbangan pada segala sesuatu yang kita lakukan.
6.    Gunungan Yang Berwarna Putih.
Dalam pewayangan, gunungan melambangkan hutan belantara, salah satu tempat dimana manusia bisa belajar dari alam. Gunungan juga mengartikan kekokohan, tekad yang kuat, dan bisa juga berarti pengayom atau tempat berlindung. Warna dasar putih mewakili jiwa suci-bersih yang melandasi pramuka SMAPA untuk belajar dari alam, mengayomi dan juga melindungi sesama tentunya.
7.    Kalimat “Krida Tyasing Hagni”
Kalimat ini selalu aku ingat karena setiap hari jum’at dan sabtu selalu nempel di lengan kiri baju pramuka-ku dulu. Krida Tyasing Hagni. Secara epistimologi, kalimat dalam bahasa sansekerta ini (lebih jelasnya sih tanya sama Bapak Wijoyo Hadi. Bapak guru sejarahku dulu. Apakah ini bahasa sansekerta asli ataukah sudah masuk dalam bahasa jawi yang diserap dari bahasa Sansekerta). Kalimat ini jika dianalisis dapat dipecah menjadi 3 kata. Yakni “Krida” yang berarti Tindakan/Perbuatan/Amalan. Tyasing yang berarti Hati/Laksana/Seperti/bisa juga berjiwa, dan Hagni yang berarti Api. Jadi secara bahasa, dapat diartikan sebagai perbuatan yang dijiwai api, perbuatan laksana api, perbuatan seperti api, perbuatan berhati-kan api. (Untuk jelas dan pastinya mungkin bapak ibu Guru SMAPA berkenan untuk memberikan koreksi). Mengapa api (hagni)? Tentu kita tahu jika sifat api adalah membakar, berkobar. Ini adalah lambang semangat. Api adalah lambang kobaran semangat. Jadi, diharapkan semua perbuatan yang kita lakukan layaknya api yang selalu berkobar dan penuh dengan semangat.
8.    “Bimasena” / “Arimbi”
Ini adalah nama ambalan kebangganku, dan kebanggaan semua yang pernah bersekolah di SMAN 1 Pamotan. Namanya diambil dari tokoh pewayangan, Bimasena (Werkudara) dan istrinya Arimbi. Seperti yang kita tahu, Bimasena atau Werkudara merupakan seorang ksatria dan termasuk keluarga Pandawa dan terlahir sebagi Putera ke 2. Sosoknya tinggi besar, kuat dan dapat diandalkan ketika ada marabahaya. Mungkin itulah yang membuat para pendahulu kita memberikan nama Bimasena pada badge Pramuka kita. Sedangkan Arimbi adalah istri dari Bimasena yang berwujud asli seorang Rakshasi, namun menjelma menjadi seorang wanita yang tangguh, kuat dan bijaksana. (lengkapnya dapat dicari tahu sendiri ya). Dari pernikahan mereka, lahirlah Gatotkaca nantinya. (akan lebih baik lagi jika Bapak Ibu guru berkenan untuk menceritakan mengapa 2 tokoh ini yang diangkat menjadi nama ambalan kita sehingga kita tahu sejarah aslinya dari sumbernya secara langsung)
9.    Dasar Warna Cokelat Pada Kalimat Krida Tyasing Hagni dan Bimasena/Arimbi.
Ada 2 hal yang dapat kita gali informasinya dari warna cokelat ini. Yang pertama tentu saja warna itu adalah warnanya pramuka (ya iyalaaahhhh... emang pernah tahu pramuka Indonesia warnanya ijo-ijo kayak lontong gitu?) dan yang ke 2, pemilihan warna cokelat untuk disematkan di badge Bimasena-Arimbi mempunyai makna filosofis untuk kemakmuran. Baik itu kemakmuran Pramukanya, kemakmuran sekolahnya, atau kemakmuran mereka yang bernaung dibawah Ambalannya. Bukankah kita semuanya tahu jika warna kuning adalah warna yang melambangkan kemakmuran? Bisa jadi itu adalah doa dari gerakan pramuka SMAPA khususnya... Semoga....
Yuhhh... itulah sekilas tentang lambang gerakan pramuka di SMAPA. Sepertinya lama sekali aku tak pernah merasakan hawa pramuka sepertimana yang aku rasakan dulu ketika masih SMA. Rindu? Jelas rindu. Tapi apalah daya.. tangan tak sampai untuk menjangkau SMAPA. (gile aja, Sedan-Pamotan 10 Kilo mbloo... ya gak bakalan sampai lah itu tangan....)
          Semoga dengan postingan kali ini, dapat membantu teman-teman dan juga siapapun yang ingin tahu tentang makna dibalik ambalan SMAPA, dan juga pastinya, jika ada kesalahan yang tertulis disini, dengan segala hormat mengharapkan pembenahan untuk semakin menyempurnakan postingan ini..

          Terima kasiiiii.... byebyeeeee...

Wednesday 29 June 2016

Hal-Hal yang Mungkin Membuat Kita Merindukan SMAN 1 Pamotan 10 Tahun Lalu...





............. “Setahun, 5 tahun, atau bahkan 10 tahun setelah ini, aku ingin tahu bagaimana perasaanmu mengingat hari ini?”
“Hmmm... aku tak yakin akan hal itu...”
“Aaaahhh.... sepertinya itu menyedihkan. Apakah kita nanti akan bisa merasakan seperti yang kita rasakan sekarang? Atau jika semuanya sibuk saat itu, bisa jadi ini akan berubah menjadi... sedikit menyedihkan..”
“Aku tak akan lupa, sungguh!”
“Ah sudahlah... Bukankah kita juga harus mengucapkan perpisahan? “
“Pada siapa?”
“Sekolah ini. Mau ikut?”
Terdiam..
“Baiklah, sampai nanti... “
(Cuplikan Dialog Pada Sakura No Hanabira tachi)

Ah, tak terasa tahun ini adalah tahun ke 10 aku lulus dari sekolah itu.. iyaaaa, sekolah itu, SMA Negeri 1 Pamotan. Memang bukan sebuah sekolah yang terletak di kota besar, namun nama besarnya tak kalah dengan sekolah menengah atas yang ada di pusat kota di kabupaten ini. Waktu yang tak terasa begitu cepat merambat melahap setiap rentangan kejadian yang terangkai dalam aliran tahun.
 Mungkin kita sudah tak merasakan lagi ketika harus berjuang susah payah melawan waktu untuk tiba di sekolah secara tepat waktu. Dan mungkin juga banyak diantara kita yang lupa, kapan terakhir kali kita melihat teman-teman kita, sahabat-sahabat kita, mengenakan seragam yang sama dengan yang kita kenakan, yakni putih dan abu-abu, berdiri dibawah sinaran cahaya matahari yang sama di area sekolah kita dulu. Dan mungkin juga banyak diantara kita yang telah lupa, kapan terakhir kali kita diajar oleh bapak ibu guru kita, didalam ruang kelas, dimana cahaya hangat sinar matahari menerobos disela tirai jendela yang terlihat seolah bercahaya menandai semangat kita yang... ah, entahlah mungkin juga telah kita lupakan.
          Ketika memandang keluar kelas pun kita akan disuguhi dengan keberadaan teman-teman berbeda kelas yang tampak semakin dewasa meski masih berbalut seragam yang sama dengan yang kita kenakan. Masing-masing dari kita saat itu pastilah belum tahu, akan menjadi apa kelak. Dan andai saja kita tahu betapa berharganya waktu-waktu terakhir kita di SMA Pamotan saat itu, maka pasti akan kita isi dengan sesuatu yang lebih bermanfaat daripada apa yang telah kita lakukan dulu. Ah, pastilah semuanya telah terlupa dengan semua ini...
          Bahkan ada saatnya kita akan merindukan waktu-waktu dimana kita berbeda pemikiran, berbeda tujuan atau bahkan beradu fisik karena sesuatu hal yang tidak penting namun kita anggap sebagai sesuatu yang prinsipal pada waktu itu. Sesuatu yang konyol memang, yang mencoreng nilai-nilai kesiswaan kita, namun bisa jadi merupakan suatu kebanggaan saat itu karena merasa benar dalam mempertahankan sesuatu yang kita yakini. Hari-hari yang sulit dengan bejubelnya pelajaran pun entah kenapa kita rindukan. Sebuah perasaan yang aneh. Iya, tepat 10 tahun yang lalu.
IPA 10 Tahun yang lalu...
          Meski demikian, terkadang masih saja terasa saat-saat seperti waktu mengenakan seragam SMA. Baik itu putih abu-abu, ataupun Pramuka dengan badge Bimasena dan Arimbi-nya yang selalu kita banggakan. Mungkin ada sedikit rasa tak percaya ketika kita menghitung bahwa ternyata kita telah mengenakannya selama 3 tahun. Bahkan mungkin diantara kita mempunyai fikiran, Sepertinya baru saja kita memijakkan kaki untuk mendaftar di SMAN 1 Pamotan, dan menggantikan seragam biru putih SMP kita dengan seragam putih abu-abu dengan badge identitas sekolah kita yang baru, namun tahu-tahu kita sudah harus mengenakan seragam untuk saat-saat terakhir kita di lingkungan SMA ini..
          10 tahun bukanlah sebuah rentang waktu yang singkat. Ada banyak perubahan yang bisa saja terjadi dalam rentang waktu itu. Seperti yang terjadi pada SMA kita tercinta dulu. Tentulah akan berbeda dengan keadannya saat ini. Kita mungkin sudah tak akan mendapati suasana yang dulu kita lalui ketika menghabiskan masa belajar 3 tahun disekolah kita pada saat ini. Tapi pasti kenangan yang telah kita alami, tak akan pernah bisa hilang. Baik itu kenangan suka ataupun kenangan duka yang bisa saja berganti setiap waktu tanpa bisa kita atur atau kehendaki. 10 tahun tentulah cukup untuk sebuah perubahan besar. Dan kita harus sadar, saat ini tak bisa kita sama ratakan dengan 10 tahun yang lalu, di zaman kita masih mengenyam bangku sekolah disini. Gedung yang megah kini, tentu tak bisa dibandingkan dengan gedung sederhana yang kita gunakan dahulu. Namun sekali lagi, kenangan tentang sekolah ini tak akan pernah bisa hilang meski perubahan selalu menggerus segala objek yang menorehkan kenangan pada memori terdalam kita.
          Ada banyak hal yang membuat kita tak mungkin bisa lupa dengan SMAN 1 Pamotan 10 tahun yang lalu. Dan pastilah para siswa saat ini tak akan bisa menemui sebagian atau bahkan mungkin keseluruhan keseruan kita ketika menjadi siswa disana. Bukan bermaksud merendahkan atau apapun, tapi inilah beberapa hal yang tak bisa ditemukan siswa SMAN 1 Pamotan saat ini, dn hanya bisa kita temui di zaman kita dahulu. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa mengingatkan kita pada SMAN 1 Pamotan. Tentunya yang kita bahas disini selain bapak dan ibu guru serta tenaga pengajar yang telah memberikan ilmunya pada kita.. karena jelas, merekalah unsur utama yang menarik kerinduan kita pada sekolah ini. Ah, membahasnya membuatku menjadi semakin rindu dengan masa-masa SMA dulu..
1.     Bangunan Yang Sederhana
Kita tak mungkin membandingkan Bangunan yang ada di SMA Pamotan saat ini dengan 10 tahun yang lalu. Tentu akan kita dapati perbedaan yang sangat jauh. 10 tahun yang lalu, nafas dari operasional sekolah masih bergantung pada iuran siswa. Berbeda dengan sekarang yang mendapatkan bantuan dari pemerintah. Hal ini tentu berimbas pada pembangunan di sekolah. 10 tahun lalu, Sekolah pasti akan berfikir berkali-kali jika akan melakukan pembangunan sarana penunjang pendidikan karena pasti akan memberati siswa. Sekarang? Tentu pembangunan bisa sesuai dengan perencanaan. Maka tak heran, pada 10 tahun yang lalu, pertama kali kita masuk ke SMA Pamotan, kita akan disambut dengan pintu gerbang yang sudah tua dan berkarat (mungkin setua Napoleon kali. hihihi). Selain itu, kita juga akan menemukan pula papan identitas sekolah yang seadanya, dan yang menjadi trade mark sekolah ini adalah pagarnya! Saat itu tentu kita masih ingat jika sekolah kita belum berpagar keliling. Tak cukup sampai disitu, jika kita melewati SMA Pamotan dari arah Lasem, maka kita akan melihat tulisan “Awas Bahaya Mau Roboh!!” yang menjadi trade mark sekolah kita. Coba bayangkan dengan keadaan sekarang. Pasti akan berbeda kan? Gedung dan bangunan megah mendominasi sekolah kita kini, dan tentunya trade mark sekolah kita tak dapat ditemui oleh siswa saat ini kan?
dulu... ini adalah ruang kelas penulis saat kelas 1..
2.    Hukuman Bagi Yang Terlambat mengikuti Upacara atau tidak lengkap.
Hukuman bagi yang terlambat upacara atau atribut tidak lengkap bermacam-macam. Tapi yang paling sering adalah, kita dibuatkan barisan pada sisi lapangan paling barat. Tidak sampai disitu, barisan sakit hati, eh, barisan telat upacara ini menghadap ke timur, langsung menghadap matahari. Kebayang kan gimana rasanya upacara dengan menghadap ke matahari? Penulis sih sering! huhuhuhuhuhu.
Siapa yang sering telat upacara? hayooo....
3.    Hukuman Bagi Yang Datang Terlambat.
Mungkin ini adalah salah satu hukuman yang paling unik yang pernah diterima anak-anak SMA Pamotan 10 tahun yang lalu. Apa itu? Bagi siswa yang telat, hukuman yang populer bukanlah hukuman fisik. Tapi satu diantara 2 hal ini. Yang pertama adalah membawa pupuk kompos (bahasa kasarnya adalah kotoran ternak) atau membuat bumbung (pagar kecil untuk melindungi tanaman). Maklum lah, saat itu SMA kita kan sedang gencar-gencarnya mengadakan penghijauan (patut dicontoh sekolah lain ini). Terkadang, bagi siswa yang merasa keberatan dengan membawa bumbung, mereka meminta Pak Kirno (penjaga sekolah) untuk membuatkannya. Tentu dengan kompensasi yang setara. Bagaimana dengan penulis? Tenang, sudah langganan! (langganan dapat hukuman ini. hakhakhak). Bagaimana dengan saat ini?
4.    Hukuman dari Bapak Ibu Guru.
Ini mungkin sudah sangat jarang kita temui saat ini. Karena alasan HAM atau apalah itu, yang semakin mempreteli kredibilitas pendidikan kita. 10 tahun lalu, hukuman fisik merupakan hal yang biasa bagi pelanggar peraturan sekolah. Bahkan sebuah hukuman dengan cara berjalan jongkok sambil memanggul kursi masing-masing merupakan suatu hal yang biasa bagi mereka yang lupa mengerjakan PR. Bagaimana jika diterapkan sekarang? Tentu pemberian hukuman pada siswa akan menjadi masalah yang berlarut-larut. Tapi dari sanalah kita bisa menjadi lebih disiplin dan patuh terhadap peraturan yang ditetapkan untuk kemudian berusaha menjadi lebih baik lagi. Bahkan ada kalanya hukuman-hukuman dari Bapak/Ibu Guru membuat kita menjadi rindu dengan saat-saat sekolah kita dulu. Tenang, penulis tidak pernah dapat hukuman kayak gini kok.. *bangga dikit.
5.    Tanda bel yang khas.
Dari dulu, dari jaman pertama bersekolah di SMAN 1 Pamotan, salah satu yang membuat kangen adalah bunyi bel sekolah yang antik dan khas. Ketika sekolah lain sudah berlomba untuk memodernisasi tanda bel mereka, SMA Pamotan Bergeming dengan bel besi yang dipukul oleh, ehem, seseorang yang khas pula. Pak Lan, begitu biasa kami memanggilnya. Sosok yang dengan setia memukul Bel besi ketika waktunya tiba. Sekarang? Semoga saja masih digunakan...
6.    Cara Guru Mengidentifikasi Siswa “penyelundup”.
Hal lain yang tidak bisa dilupakan oleh siswa SMAN 1 Pamotan 10 tahun yang lalu adalah cara guru engidentifikasi siswa penyelundup. Maksud penyelundup disini adalah siswa yang telat tapi bisa masuk ke kelasnya melalui jalan samping. Kan pada waktu itu belum ada pagar keliling. Jadi bisa saja kan para siswa yang terlambat lewat jalan samping sekolah untuk masuk ke kelasnya? Namun, tak kurang akal, guru SMAN 1 Pamotan pun bisa membedakan siswa yang telat dengan yang tepat waktu. Caranya? Mudah. Cukup dilihat sepatunya! Jika sepatunya kotor, atau terkena tanah basah, identifikasi awal bisa jadi dia telat! Karna, kiri kanan sekolah waktu itu masih berupa persawahan, sehingga tanahnya basah dan menempel di sepatu. Sebuah cara yang sederhana namun sangat efektif. Bagaimana dengan sekarang? Sepertinya.... ah...
Ini Bukan Penyelundup.. tapi ini wajah Siswa SMAPA 10 Tahun yang lalu... :D
7.    Pura-pura dari Kantin ketika Telat.
Alternatif lain bagi siswa yang terlambat untuk menghindari hukuman adalah dengan berpura-pura selesai sarapan dari kantin. Setidaknya hukuman mereka lebih ringan jika terdeteksi telat secara de facto. (halah!). bagaimana bisa? Iyalah bisa. Dari arah timur kan dulu ada jalan pintas (aslinya jalan persawahan). Karena sekolah belum memiliki pagar keliling, maka jalan itu bisa langsung mengarah ke kantin. Untuk menghindari kecurigaan guru, tasnya mereka titipkan dikantin dan diambil ketika istirahat tiba. Berhasilkah cara ini? Ketika musim kemarau tiba, kemungkinan berhasil lebih besar daripada musim penghujan. Karena tanah sawahnya kering... tapi, jangan ditiru! (maaf ya bapak ibu guru.. penulis ndak ikutan kok..). sekarang? Dengan pagar keliling yang rapat, tentunya hal ini akan sulit dilakukan oleh siswa sekarang dan hanya bisa dilakukan oleh siswa SMAN 1 Pamotan 10 tahun yang lalu...
8.    Tempat “Persembunyian” Alternatif.
Maksud tempat persembunyian disini adalah rerimbunan pohon bambu yang terletak dibelakang areal sekolah. Disini, beberapa siswa memanfaatkannya ketika membutuhkan ketenangan saat hendak ada ulangan. Bukan mencari wahyu, ilham, atau pangsit (halahhhh!! kalo pangsit mah di Bang Niam depan Masjid Pamotan ituuuhhh), tapi untuk belajar bersama dan mempersiapkan bahan ulangan.. sekarang? Sepertinya sudah ndak bisa lagi deh. Karena sudah tertutup pagar..
9.    “Hijrah” saat Berolahraga.
Berbeda dengan saat ini yang fasilitas olahraganya terbilang lengkap, 10 tahun yang lalu tidaklah sama. Ketika pelajaran olahraga dan kita hendak memainkan sepakbola, maka satu-satunya jalan adalah kita harus hijrah ke arah barat areal sekolah ke lapangan milik desa. Bukan hanya itu, meski sudah hijrah, dalam bermain sepakbola kita juga masih harus bersusah payah untuk bisa bermain maksimal. Lapangan desa yang kami pakai tidaklah rata. Bahkan kemiringannya sangat jelas terlihat. Jadi kita harus pandai-pandai mengolah bola plus menjaga keseimbangan saat berhijrah untuk bermain sepakbola disana.. sekarang? Bermain sepakbola cukup di areal sekolah. Karena sekolah telah menyediakan lapangan sepakbola yang lumayan bagus...
10. Class Meeting yang hampir selalu “Meminta Korban”
Korban disini berarti anak-anak atau siswa yang terluka atau cedera ketika mengikuti class meeting. Wajar saja, 10 tahun yang lalu, arena class meeting masih berupa hamparan tanah yang belum ada paving atau lapisan penghalus lainnya. Jadi ketika class meeting dilaksanakan, maka semangat juang yang membara akan diiringi dengan beberapa luka lecet bagi para siswa yang tanpa sengaja terjatuh karena saling beradu semangat. Iyap, luka kecil bukanlah sesuatu yang ditakutkan anak-anak SMA Pamotan 10 tahun yang lalu. Karena memang, ketika kita terjatuh, tanah berpasir dan bahkan berkerikil akan selalu setia menanti tubuh kita yang terhuyung ke tanah. Meski begitu, momen-momen seperti ini selalu dinantikan, dan.... 10 tahun kemudian entah mengapa membuat rasa rindu di bongkahan hati kecilku... (rindu? Memangnya penulis ikutan class meeting? Keren doonngg!!... sekedar bocoran ya, tiap kali class meeting dilaksanakan, penulis selalu setia mengikutinya. Semua kegiatan penulis ikuti. Terutama olahraga. Beeuuuhhh.... sudah langganan kalo penulis dulu menjadi pemain cadangannya cadangan.. )
11.  Janjian Dengan Surat Atau Perantara.
Ehem, ehem.... siapa ini yang dulu melakukan hal ini? Yang pernah melakukan hal ini pasti senyum-senyum sendiri. Coba kita kilas balik lagi. 10 tahun yang lalu, HP belumlah sepopuler sekarang. Jadi untuk membuat janji dengan seseorang yang berbeda kelas, bisa dengan mengirimkan surat melalui teman yang lain. Uhhh, ribet ya? Memang ribet untuk ukuran sekarang. Tapi, 10 tahun yang lalu, hal seperti itu sih biasa. Ini berlaku juga untuk siswa yang ingin nembak target operasinya tapi tidak punya nyali untuk bertemu secara langsung. Lalu dimana gregetnya? Ada kok.. gregetnya adalah, masa-masa ketika menunggu balasan surat “Tembakan” yang kita kirim. Tentu akan sangat bahagia jika dibalas sesuai dengan yang diinginkan dan akan sedih jika dibalas dengan penolakan. Namun yang lebih tragis lagi adalah.... ketika sudah mengirim surat “tembakan”.... dan target operasinya tidak memberikan jawaban sama sekali. Tidak mengatakan “tidak”, dan tidak pula mengatakan “iya”. Bagaikan menanti sesuatu yang belum jelas kehadirannya... *penulis pernah punya pengalaman tentang hal ini. Membuat surat tembakan dua kali, tapi semuanya bukan untuk penulis sendiri. Satu untuk teman sekelas berinisial “L” (sumpah ini bukan L yang menjadi bintang utama The Death Note), dan yang kedua untuk teman dengan inisial “A” (aslinya sih bernama Agus). Hasilnya? Alhamdulillah, dua-duanya ditolak! Bahkan sang pujaan hati si “L” malah pindah sekolah beberapa waktu setelah mendapatkan surat tembakan itu.. jangan-jangan....
12. Penjelajahan Pramuka yang Selalu Dirindukan.
Ini nih yang menjadi salah satu poin penting mengapa sekolah di SMAN 1 Pamotan pada 10 tahun yang lalu sangat dirindukan. Dulu, kegiatan pramuka yang dilaksanakan di sekolah selalu diselingi dengan penjelajahan alam diluar kompleks sekolah. Tak tanggung-tanggung, jarak yang ditempuh bisa mencapai puluhan kilometer dan semuanya dilangsungkan diluar sekolah. Bahkan Kadang area penjelajahan berjarak beberapa kilometer dari sekolah. Meskipun capek, suasana perkemahan saat itu memang benar-benar mendidik siswa untuk lebih dekat dengan alam. Bukan hanya slogan, tapi kami benar-benar diperlihatkan alam yang nyata, didekatkan dengan alam, dan yang terpenting diajari untuk menghargai alam. Mungkin yang terjauh yang pernah penulis tempuh adalah ketika harus melakukan penjelajah di Gunung Mbugel dengan rute ke puncak. Sampai daerah ceriwik, dan memutar menuruni gunung lewat timur SMPN 1 Pancur untuk kemudian kembali ke areal perkemahan di SMAN 1 Pamotan. Semuanya dengan berjalan kaki lho... hemm... jadi ingin menjelajah gunung lagi.. lalu bagaimana dengan sekarang? Yaahhh... penulis gakk tau... yang pasti pengalaman menjelajah alam itu semakin membuat rindu pada SMAN 1 Pamotan 10 Tahun yang lalu..
Ini Bukan Pramuka, ini sekedar iklan...
13. Kakak Pembina Pramuka yang “Mengartiskan Diri”
Sudah tak bisa dipungkiri jika masa SMA adalah masa pencarian jatidiri yang sebenarnya tak pernah hilang sama sekali (lalu kenapa dicariiiiiiiii????). maksud dari mengartiskan diri disini tak lepas dari salah satu kegiatan perkemahan yang mengharuskan adik-adik pembina mengirim surat kepada kakak pembina yang dikaguminya. Surat itu bisa surat kekaguman biasa atau bahkan malah surat cinta yang menyatakan perasaan... tentu saja perasaan cintanya. Dan kesempatan untuk kakak pembina menjadi artis dadakan sangat terbuka lebar. Karena mau tak mau (malah bahkan cenderung memaksa kalau tak mau dikatakan mengancam. Xixixixi) adik tingkat harus mengirimkan surat kepada kakak pembina pramuka. Bisa dibayangkan kan bagaimana malunya si adik tingkat ketika karus menulis surat kepada kakak pembinanya.. tapi disanalah letak keseruannya. Kita dituntut untuk menjadi seseorang yang berani menyatakan apa yang ingin dinyatakan, mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Mungkin cara ini bisa dipakai oleh para Jones (Jomblo Ngenes) yang sudah abadi dengan kejombloannya.. xixixixi... *gara-gara acara beginian, penulis malah mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan.. saking ngartisnya, sampai ada adik tingkat yang ngirim surat yang ternyata dia...... cowok!
14. Berebut bus angkutan ketika pulang sekolah
10 tahun yang lalu, mayoritas siswa di SMAN 1 Pamotan masih menggunakan bus sebagai sarana untuk berangkat dan pulang sekolah. Tak seperti saat ini yang kebanyakan menggunakan motor sebagai kendaraan untuk ke sekolah, dulu menggunakan bus merupakan hal yang paling banyak dilakukan oleh siswa baik itu yang jauh ataupun dekat jarak rumahnya. Nah, hal yang membuat rindu adalah, dimana saat bel pulang sekolah berdentang. Ketika semua siswa berhamburan keluar kelas dan menunggu kedatangan bus di pinggir jalan secara bersama-sama, dan berharap bus yang datang nantinya masih kosong. (kadang para penunggu bus kecewa juga. Karena ternyata bus yang datang sudah penuh dengan siswa dari sekolah lain). Ketika melihat ada bus datang, maka siswa-siswi tersebut langsung berhamburan menyambut dan berdesakan untuk bisa naik agar dapat pulang sekolah dengan segera. Bahkan demi bisa mendapatkan tempat duduk atau mendapatkan bus lebih awal dari para “penunggu bus” yang lain, tak jarang para siswa nekad untuk mencegat bus di barat sekolah, dengan berjalan jauuuuhhh ke barat. *contohnya penulis, demi mendapatkan bus dengan segera, tak jarang penulis dan kawan-kawan rela berjalan jauh ke barat. Dan... yang paling sering dilakukan penulis beserta kawan-kawan adalah... mencegat bus di pos ronda di pertigaan desa Gayam.. entah berapa jauhnya itu... hihihi
Wajah-wajah 10 Tahun yang lalu...
15. Menunggu bus dibawah pohon asam di pinggir jalan.
Satu hal yang membuat kangen dengan keadaan SMA Pamotan 10 Tahun yang lalu adalah suasana bubaran sekolah. Ketika pulang sekolah, akan terlihat siswa-siswi SMAPA berjajar di pinggir jalan dan bergerombol dibawah pohon asam yang tumbuh subur di sepanjang jalan raya depan sekolah. Saat ini mungkin masih terlihat sama. Tapi jika kita bandingkan dengan 10 tahun lalu, ketika halte bus belum ada dan kebanyakan siswa masih menggunakan bus (bukan motor seperti saat ini) pastilah akan ada semacam rasa yang hilang dan membuat rindu. entah rasa apa itu yang jelas, bagi sebagian siswa, menikmati saat-saat menunggu bus dibawah pohon asam depan sekolah memberikan kesan tersendiri yang mungkin akan membuat sebuah perasaan ingin mengulang lagi masa-masa itu.
16. Petugas Perpustakaan Yang Pendiam dan ditakuti.
Bagi sebagian siswa yang doyan pergi ke perpustakaan sekolah, tentu tak asing lagi dengan sang penjaga perpustakaan yang bernama mbak Atif. Bagi yang terbiasa ke perpustakaan juga, pasti akan tahu jika sebenarnya mbak Atif ini adalah seorang yang enak untuk diajak ngobrol, sharing, bertanya atau bahkan curhat. Namun, sayangnya karena budaya anak-anak SMAPA 10 tahun lalu tidak familiar dengan yang namanya baca membaca atau perpustakaan, maka sosok mbak Atif lebih sering terdefinisikan sebagai sosok yang pendiam, galak, suka marah, dan... misterius!. Sebenarnya, jika kalian tahu ya vroohh, jika kalian sering berkunjung ke perpustakaan dan berinteraksi dengan beliau, kesan negatif yang menempel pada mbak Atif akan hilang dan berganti dengan sosok yang ramah, charming, suka becanda dan tentunya.. suka nunjukin buku yang kalian inginkan! Tapi apapun itu, mungkin salah satu yang membuat SMAPA 10 tahun yang lalu tercetak kuat di ingatan adalah sosok yang menjaga perpustakaan itu.
17. Menghitung Gerimis dibawah Pohon Asam Depan Sekolah.
Kalo ini sih bukan pendapat umum. Ini sih pendapat penulis sendiri suka main gerimis-gerimisan dan menikmati gerimis dibawah pohon asam depan SMAPA. Yah, dasarnya memang suka dengan gerimis dari kecil. Jadi terbawa sampai besar, sampai SMA juga. Sangat tidak penting kan untuk ditulis? Ya iyalahhh... tapi beneran, coba deh, sekali waktu nikmati gerimis yang merinai dengan penuh penghayatan. Perasaan pembaca akan menjadi lebih tenang dan akan lebih terimajinasi dengan sesuatu yang mungkin tak pernaah pembaca bayangkan.. lalu kenapa dikasih judul menghitung gerimis dibawah pohon asam depan sekolah? Biar agak keren aja vroohh... tavvuran nyookkkk! Daripada banyak tanya! Aaahh, penulisnya ajah yang gak jelas! *komentar para pembaca.
Nah, mungkin itulah hal-hal yang membuat kita kangen dengan masa-masa sekolah kita dulu di SMAN 1 Pamotan.. mungkin ada yang sama, mungkin juga tidak. Lalu, apa yang membuatmu kangen dengan masa sekolah di SMAPA?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...