Tuesday, 3 September 2013

Cita-Citaku (Bagian Dua) = Pemikiran Cerdas



Bagi Yang belum Baca cerita Sebelumnya, ini bagian pertamanya...
Lain halnya ketika aku beranjak menjadi anak kecil dengan status siswa kelas 1 SD. Masalah cita-cita yang berubah, aku alami juga pada akhirnya. Karena cita-cita terbesarku sewaktu kecil, yakni menjadi seorang Polwan dihadang dan dihalangi mati-matian oleh Pak Arifin, guruku sewaktu TeKa, maka cita-citaku pun aku rubah haluannya. Aku sudah tak berminat lagi untuk menjadi seorang Polwan. Dalam masa sekolah, terutama awal-awal SD, teman-teman pasti ingat dengan pertanyaan bapak/ibu guru yang menyinggung tentang cita-cita yang ingin kita capai nanti. Teman-teman ingat kan, kita ditanya tentang cita-cita, terus bapak ibu guru bikin tulisan besar-besar dengan memakai kertas karton, terus ditempelin didinding ruang kelas kita. Isinya adalah kolom-kolom yang berisi nomor, nama, terus disampingnya ada tulisan “Cita-Cita”. Bagian atas dari kolom itu, biasanya ditulis dengan huruf balok berbunyi “CITA-CITAKU”. 
Anak Kecil Yang Narsis (Pict dari Yunia Supartiwi)

          Begitu juga aku ketika kelas 1. Masih juga dicekoki dengan pertanyaan yang sama dari wali kelas sekaligus guru kelasku dulu.
          “anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang cita-cita....”
          “Horrreeeeeee.....” teriak teman-teman. Aku yakin, waktu itu, pasti masih sedikit diantara teman-teman sekelasku yang paham dengan arti kata cita-cita. Aku yakin juga, bahkan sangat yakin, mereka bilang “Hore” karena dibayangan mereka, Cita-cita adalah semacam makanan yang baru mau mereka cicipi untuk pertama kalinya. Mungkin saja diantara mereka Ada yang bayangin sejenis Pentol tusuk, permen, kerupuk, ato bahkan sejenis nasi goreng dikasih tambahan telor diatasnya..
          “kalian tahu apa itu cita-cita???”
          “Tidaaaakkkkkkkkkkk!!!!!!!!!!!!!!!” jawab sebagian besar siswa dikelasku. Kompak banget mereka bilang seperti itu. Aku yakin mereka gak sadar, jawaban “Tidak”  yang mereka lontarkan benar-benar meruntuhkan semangat dari wali kelas kami yang sebelumnya sangat bersemangat ketika mendapatkan jawaban “Hore...”
          Gubrak!!!! Wali kelasku tersenyum kecut, untuk kemudian menjelaskan kepada kami apa itu yang dimaksud dengan cita-cita.
          “sekarang sudah jelas anak-anak?? Apa yang dimaksud dengan cita-cita ituuuu???”
          “sudaaaaaahhhhh.....” melihat jawaban-jawaban yang diberikan oleh teman-teman sekelasku, aku berfikir, mungkin suatu saat nanti kami berbakat untuk menjadi regu paduan suara yang handal, yang sangat fasih jika disuruh mengucapkan hymne “Hooorrrreeeeeeee........ tttiiiiiiddddaaaaaaaaaaakkkkkk...... ssssuuuudddaaaaaahhhhhhh.......”
          “Ayo, sekarang apa cita-cita kalian jika sudah besar nanti?”
          “polisi...” *bosan aku dengan jawaban yang standar seperti ini. Cita-cita kok ya gak kreatif. Sekali-kali bercita-cita menjadi makelar, bajing loncat ato bahkan koruptor kan bagus. Memang pada munafik kali ya. waktu kecil aja bilangnya gak mau bercita-cita jadi koruptor, e, gedhenya malah menjilat ludah sendiri. Buktinya, banyak yang bercita-cita jadi apa gitu tapi ujung-ujungnya malah jadi koruptor...
          “presidennnnn...” *cita-citanya ketinggian Brooooooo.... (aku membatin tiap kali ada yang mengucapkan cita-citanya..)
          “Menteri...” *ngimpi kaleeeeee.....
          “Gubernur!!!” *kayaknya sulit deh
          “Bupatiiiii.....” *harus punya banyak duid kamuuuu....
          “Camaaaatttt....” *harus deket sama bupati kalo pengen jadi camat.
          “luraaaahhhh...” *bisa dan mungkin
          “ketua RW...” *bisa juga
          “Ketua RT...” *wajar dan realistis...
          “Guruuuuuu.....” *bisa tercapai..
Dan banyak lagi cita-cita yang disebutkan oleh temen-temenku. Sedangkan aku hanya cengengas-cengenges saja tanpa menyebutkan apa cita-citaku. Aku gak bakalan bilang kalo ingin jadi polwan. karena aku tahu, polwan untuk wanita, sedangkan aku aku adalah laki-laki. Haram bagiku untuk bercita-cita menjadi polwan, karena bertentangan dengan takdirku sebagai laki-laki.
          “fuad.. apa cita-citamu??”
          “hehe....” aku bingung, karena sebelumnya ketika aku masih di TeKa, cita-citaku sebagai polwan tidak diperbolehkan.
          “hem?? Kenapa malah hehe??”
Aku terus berfikir, dan mencari jawaban yang tepat untuk kuberikan. Aku gak mau peristiwa dan tragedi penolakan polwan sebagai cita-cita terulang lagi. Tak berapa lama kemudian, karena aku termasuk siswa yang peka dengan keadaan, aku menjadi teringat dengan sesuatu.
Wanita Karier...

          “aku ingin menjadi wanita Karierrrr!!!” jawabku mantap.
          “?????” wali kelasku melongo dengan jawabanku. Merasa aneh mungkin dengan jawaban yang aku berikan. Namun, bagiku itu adalah cita-cita yang mulia dan sama sekali tidak aneh. Aku mengucapkan jawaban itu karena aku teringat dengan sodara-sodara sepupuku yang rata-rata perempuan. Memang, karena aku gak punya kakak laki-laki, dan hanya punya adik laki-laki, aku lebih sering bermain dengan sepupu-sepupuku yang berjenis kelamin perempuan. Dalam setiap perbincangannya (tepatnya bukan perbincangan, tapi peran-peranan yang sering dimainin waktu main drama rumah-rumahan), mereka pada berebut peran sebagai wanita karier. Dengan serunya mereka saling berebut untuk mendapatkan peran itu di drama-dramaan yang mereka lakonin. Jadi karena hal itulah, aku berkesimpulan jika wanita karier merupakan suatu cita-cita yang bagus dan mulia. Buktinya, para sepupuku pada berebut waktu bermain drama-dramaan.
          “benar, cita-citamu menjadi wanita karier??”
          “iya. Yakin!!!” jawabku dengan tegas. Aku bisa memastikan, semua teman-temanku pasti gak tahu dengan arti dari wanita karier yang aku ucapkan itu.
          “gak mau berubah??”
          “tidak.. aku sudah mantap untuk menjadi wanita karier!!”
          “kenapa??”
          “karena keren dan sangat mulia”. Aku menjelaskan asal-asalan dan sangat tidak mendasar.
          “tapi kamu laki-laki Ad..”
          “Ha???” gantian aku yang melongo.
          “wanita karier itu artinya wanita yang bekerja dan punya profesi. Jadi itu untuk yang berjenis kelamin perempuan..”
          Gubraakkkk!!!! Untuk kedua kalinya aku salah dalam memilih cita-cita. Terdengar seantero kelas tertawa dengan keterangan yang diberikan oleh wali kelasku itu. Aku hanya bisa tersenyum kecut, dan memahami, jika kata “Wanita” sama artinya dengan “Perempuan” dan sama artinya dengan “Cewek”.
          “ayo, cari cita-cita yang lain...”
Aku sama sekali gak punya gambaran untuk menyebutkan apa yang ingin aku capai saat besar nanti. Maklum lah, pemikiran anak kecil. Masih bastrak dengan yang namanya alam nyata dan ditambah dengan penguasaan kosa kata yang masih simpang siur. Jadinya jelas salah kaprah dengan yang di idamkan oleh para orang dewasa.
Wanita Karier

          “yasudah, untuk fuad, cita-citanya dicari dulu ya..” *emangnya cita-citaku hilang dimana?? Kok aku disuruh mencari?? Dan sebagai efek dari kesalahanku dalam memilih cita-cita, maka namaku yang terpampang di tembok dalam balutan kertas karton itu dikosongi dalam kolom cita-cita. Khusus untuk namaku saja. Karena pasti akan sangat lucu dan mencurigakan, jika namaku disandingkan dengan cita-cita menjadi sebagai wanita karier. Lucu karena aku adalah cowok, mencurigakan karena pasti pada heran dengan keberadaanku yang abal-abal sebagai cowok.
          “Besok, untuk fuad, siapkan cita-citanya ya.. biar nanti segera ditulis untuk ditempelkan ke papan cita-citaku...”
Mendengar kata “Besok”, otakku mulai berfikir keras untuk mencari cita-cita terbaikku. Mau tak mau, aku harus mencari sumber referensi terpercaya agar aku gak salah pilih lagi dalam menentukan cita-citaku. Dan perlu temen-temen ketahui, sumber referensiku sewaktu TeKa dan SD adalah pamanku dari pihak bapak. Jadi, mau tidak mau, kesanalah aku menuju selepas pulang sekolah nanti.
          “Mbaaaahhh... Paman ada??”. Aku berkoar-koar dari depan pintu setibanya dirumah embah. Pamanku memang masih ikut dengan embah putri waktu itu.
          “lho.. pamanmu masih sekolah toh le....” *terdengar suara mbah menyahut dari dalam.
          Upss, aku lupa. Tentu saja paman belum dirumah. Aku kan pulang sekolah paling mentok jam 10 pagi, lha, pamanku kan ketika itu sudah menginjak bangku SMA. Jadi ada perbedaan sekitar 3 jam 15 menit untuk jadwal pulang sekolah, ditambah 30 menit untuk perjalanan menggunakan angkutan umum dari sekolahnya di Lasem sampai Terminal Pasar, dan ditambah lagi alokasi waktu sekitar 5 Menit untuk perjalanan dari pasar ke rumah Embah, ditambah lagi waktu untuk makan siang, ganti baju, dan lain-lain. Jadi, kalo ditotal, rentang waktu antara kehadiranku dirumah Embah dengan kedatangan paman adalah 3 jam + 15 Menit + 30 Menit + 5 Menit = 3 jam 50 menit. Jadi, dengan hitung-hitungan ala siswa SD yang cenderung pintar, aku harus kembali lagi kerumah embah minimal sekitar 4 jam lagi. Jika sekarang adalah jam 10.00 pagi, maka, 4 jam kemudian berarti pukul 2 siang. Tapi, karena aku adalah orang indonesia asli dan pamanku juga indonesia asli, aku memutuskan untuk kembali lagi pada pukul 3 sore. Berjaga-jaga, karena kita tahu orang indonesia asli kan sering menggunakan jam karet untuk aksesoris mereka. Untuk sementara, aku pun pulang kerumah untuk melakukan hal-hal gak penting lainnya.

nah, yang penasaran dengan bagian ketiga, ini nih lanjutannya...

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...