Setiap
manusia pasti mempunyai cita-cita yang diharapkannya tercapai sewaktu dewasa
nanti. Dari anak-anak kecil, sampai kakek-kakek bau tanah pun pernah mempunyai
cita-cita. Semua orang, setiap manusia, baik itu kecil ataupun dewasa, memiliki
keinginan untuk menjadi sesuatu atau memiliki sesuatu. Keadaan yang demikian
itulah yang keren dengan istilah cita-cita.
Walaupun aku termasuk cowok yang terhitung keren, tetap
saja aku mempunyai cita-cita yang ingin aku capai. Seperti kebanyakan anak-anak
yang mempunyai cita-cita, apalagi yang namanya anak kecil, aku pun mempunyai
cita-cita yang sering berubah-ubah. Namanya juga anak kecil, bilangnya
bercita-cita jadi penerbang, eh, tau-tau malah jadi pemain rebana. Bilangnya
pengen jadi dokter, e, malah besarnya jadi dukun. Cabul pulak.. gimana coba??
Tapi namanya juga cita-cita. Jadi ya bebas-bebas aja dong mau jadi apa saja.
Toh, kita juga gak bakalan ikut campur, apalagi ngeluarin dana.
Masa Kecil (Pict From Yunia Supartiwi) |
Yups, sebagai orang yang normal, aku pun punya cita-cita.
Selain menjadi guru yang merupakan cita-cita terbesarku sejak kecil, aku pernah
mempunyai cita-cita yang beragam. Nah, hari ini, waktunya bernarsis-narsis ria.
Aku mau menceritakan kisahku yang mempunyai cita-cita setinggi langit...
Saat itu, aku masih duduk di bangku TeKa alias Taman
Kanak-kanak. Selain lagu gajah-gajah yang selalu diajarkan sampai hapal banget,
bukan Cuma hapal aja, tentunya kami juga diajarai untuk menjadi seseorang yang
berguna suatu saat nanti. Maka dari itu, kami semua haruslah punya cita-cita.
“cita-cita itu penting anak-anak.. karena, cita-cita adalah
lampu” Pak Arifin, guru TeKa ku memberikan wejangan pada kami semua, murid TeKa
yang rata-rata masih pada rembes, Upilan, dan kusem. Belum lagi yang lagi
pilek, kadang malah ingusnya sampe meler ke bibir.
Namanya juga anak-anak,
masih Teka pulak, jadi ya walaupun dikasih wejangan sampai panjang lebar, gak
ada yang menggubris. Kelas tetep aja rame dengan suara anak-anak yang
jerit-jeritan.
“kenapa cita-cita itu diibaratkan sebagai lampu??” Pak
Arifin melanjutkan.
Anak-anak masih saja pada
ramai.
“Huwaaaa.... ibuuukkk...
aku diupilin sama Nanaaaaannngggg...”. dari sudut terdengar suara Rini yang
menjerit ketika tangannya si Nanang yang bekas upil nempel di pipinya Rini.
“emmmaaakkk... mintak Pentollll....” *suara Fian yang dari
kemaren keliatan pengen banget makan pentol yang dijual deket tempat maenan
prosotan.
“huwwaaaa.... aku pipisssss......” *suara Heni, yang ketika
beranjak SD Pindah sekolah ke Madrasah Ibtidaiyah Negeri di daerahku.
“ibuuuukkkk..... pengen e’eeeekkkk......” entah suarane
siapa yang ini.
Dan pak Arifin??? Tetap,
tanpa pendengar. Jadi dengan kata lain, bicara sendiri...
“dikatakan sebagai lampu, karena cita-cita nanti akan
menjadi pengarah arah hidup kalian. Gitu anak-anak..”
“Oke, sekarang bapak mau bertanya, kalian cita-citanya
menjadi apa???”
Aku gak tahu awalnya
gimana, tapi ketika pak arifin bertanya seperti itu, tiba-tiba kelas menjadi
hening dan anak-anak menjadi semangat untuk menjawabnya.
“pengen jadi Polisi Pakkk!!!”
“jadi Pilot!!” *yang jawab ini aku yakin tak kesampaian.
Karena setahuku, teman seangkatanku di TeKa Pertiwi Sedan gak ada yang menjadi
pilot barang seekorpun.
“jadi Guru!!” * ada yang berhasil.
“Jadi Dokter Hewan Pakkk!!!” *ini jawaban dari temanku Dina
Amallia, yang nantinya menjadi teman di SMP juga.
“Iya Dina, Kenapa pengen menjadi Dokter Hewan??” tanya Pak
Arifin
“Karena aku pengen merawat hewan-hewan yang sakit pak...
aku sayang banget sama hewan. Termasuk tikus juga lho pak. Buktine dirumahku
banyak tikusnya. Selain itu juga aku sayang sama-kutu-kutuan. Tuh, tiap hari
aja kutu rambute si Ipul aku yang rawatin...” *jawaban Polos Anak Kecil
“Iya Dina, Bagus banget cita-citamu itu Dina. Lanjutkan ya.
yang semangat!!” *suara yang menggebu-gebu seperti Mario teguh di Mentol Tipi.
Dan, beberapa tahun kemudian, Dina berhasil menjadi Dokter
Hewan, seperti yang dia cita-citakan dulu..
Polwan Yang Laki-Laki |
“ayo, ada lagi yang punya cita-cita??”
“ayo, jangan diem aja... fuad, kenapa dari tadi diem aja??”
Aku kaget. Gugup dengan pertanyaan yang tiba-tiba.
“fuad, cita-citanya apa??” ulang Pak Arifin.
Aku masih terdiam.
“Fuad Pasti Punya cita-cita kan??”
“iya Pak..” *aku mulai membuka suara.
“lalu cita-citanya apa??”
“aku pengen jadi Polwan Pak!!”
“Ha???!!!” Pak Arifin Kaget dengan jawaban yang
didapatkannya dariku.
Sesaat kemudian, Pak
Arifin Tenang Kembali dan mencoba menguasai keadaan. Wajah shock masih terlihat
jelas di wajahnya.
“Kenapa Pengen jadi Polwan, Fuad??” *beliau bertanya dengan
halus. Tepatnya dihalus-halusin.
’”Iya Pak. Pengen manjadi pelayan masyarakat..”
“Kenapa Pilih menjadi Polwan??”
“Keren Pak.. bisa tampil gagah dan mengatur ketertiban”
“Tapi Kamu gak boleh bercita-cita jadi Polwan, Fuad..”
“Kenapa Gak Boleh?? Bukankah bebas?? Katane Bapak guru,
kita bebas milih cita-cita yang kita inginkan..”
“Iya... tapi jangan jadi Polwannnn!!!” *Pak guru Arifin
mulai gemes.
“emangnya kenapa Pakkk??”
“karena kamu LAKI-LAKI!!! POLWAN UNTUK PEREMPUAAAANNNNN!!!!”
“ooooohhhhh......” mulutku membuka dan membentuk huruf “O”.
Jika pembaca mengira saat itu aku paham bahwa cita-cita yang bebas kita pilih
pun masih dibatasi dengan gender, anda salah. Aku membentuk huruf “O” karena
waktu itu aku baru sadar, kalo cita-citaku untuk menjadi Polwan tidak bisa
dilanjutkan lagi...
ceritanya bersambung ke bagian dua temen-temen. disini nih...
ceritanya bersambung ke bagian dua temen-temen. disini nih...
No comments:
Post a Comment