Sewaktu kita
masih sekolah, Pernah merasakan perlakuan guru yang berbeda terhadap anak
didiknya?? Yakin deh seribu limaratus persen teman-teman pasti pernah
merasakannya. Perlakuan yang berbeda pada kita biasanya didasarkan pada
beberapa sebab. Namun kebanyakan dikarenakan 2 hal. Yakni, ada siswa Pinter,
dan yang kedua, pasti karena juga ada siswa yang tidak pinter (baca : o’on).
Kebanyakan
disekolah daerah, siswa pintar mempunyai nilai lebih dihadapan para guru. Entah
itu karena mereka memang dekat dengan para guru, atau mungkin juga karena
mereka dikaruniai kemampuan berfikir diatas rata-rata anak yang o’on. Tapi ada
juga yang membuat para guru biasanya lebih interest dengan anak-anak pinter. Tau
gak?? Biasanya anak pinter kan suka berdandan rapi, rambut klimis, sopan, dan
juga kebanyakan dari mereka adalah perwakilan dalam setiap lomba antar sekolah
plus sedap dipandang. Lalu, bagaimana dengan siswa yang cenderung o’on?? Gak usah
dibahas deh. Kebanyakan siswa yang o’on memang mempunyai penampilan yang kurang
menarik. Seperti rambut digaya-gayain, baju gak rapi, kumel, jarang mandi, dan
juga dari segi nilai atau pemikiran, mereka jelasnya tertinggal dari para siswa
pinter plus terkadang suka ngupil sembarangan. Begitulah.. jadi, terkadang
siswa yang dianggap pinter cenderung lebih diberi keistimewaan dalam kehidupan
bersekolah. Bener kan??
Secara pribadi,
aku pernah juga lho diuntungkan karena pada waktu sekolah aku dulu berlabel
anak yang cenderung pinter (selain aneh tentunya lho...). jarang sekali aku
mendapatkan pukulan atau hukuman sebagai pelampiasan kemarahan para bapak ibu
guru yang lagi terkena serangan syindrom tanggal tua (baca : gak punya duid di
tanggal tua). Tapi tidak halnya dengan salah satu temanku yang terbilang
cenderung o’on. Walaupun aslinya dia pintar, tapi dia tidak mau memperlihatkan
kalau dia pintar (istilah kerennya, dia lagi menyamar begitu lho...)
Sebut saja
namanya Leles, tapi dia lebih beken dengan sebutan Lena. Kenapa disebut Lena? Dan
siapakah Leles ini?? Teman-teman bisa membacanya di Postingan yang berjudul
metamorphosis.
Ya, sebut
saja dia begitu. Dia adalah makhluk nyata yang menjadi saksi dan juga bukti
hidup tentang diskriminasi yang terjadi diantara kita dihadapan bapak guru
sewaktu SMA dulu.. pengen tau kisahnya?? Sabaaarrrr.... ini juga lagi mau tak
ceritain kok...
Kisah ini
terjadi ketika aku dan Leles masih duduk di SMA kelas 1. Seperti yang kita
tahu, SMA Pamotan mempunyai seorang guru yang kami anggap sebagai guru yang
lumayan galak. Aslinya ndak galak sih, tapi Cuma karena kita gak mudeng sama
mata pelajaran yang beliau ampu, maka kita jadi parno sendiri tiap kali bapak
guru ini masuk ke kelas. Ya, sebagai siswa yang hanya dikaruniai pemikiran
eksak yang pas-pasan, aku dan leles merasa menjadi saudara kembar yang
pembagian porsi kegantengannya tidak seimbang. –lebih ganteng aku lah daripada
si Leles... xixixixi. Mengapa sampai seperti saudara kembar?? Iyyyaaaa...
karena setiap kali mata pelajaran itung-itungan, aku dan Leles ibarat kembar
siam yang selalu bertingkah sama. Yakni garuk-garuk kepala, toleh kanan-toleh
kiri, cengengas-cengenges, meringis ketika ditegur guru, dan yang pasti, mumet
gara-gara gak bakalan bisa mengerjakan tugas yang diberikan, terus opsi
terakhir adalah pura-pura pingsan atau lupa ingatan dengan mengatakan
berulang-ulang kalimat yang sama. “saya siapa?? Saya dimana?? Apa yang
terjadi?? Mengapa aku disini???”. Jika cara itu tidak berhasil, maka opsi
lanjutan adalah plan B, yakni mengaku sebagai orang lain yang sedang menyamar..
misal gini nih contoh dialognya :
“Leles,
berapakah hasil dari (2x+3y) . (x-y)” *ini pertanyaan guru matematika yang
waktu itu diampu oleh bu Mia Darmiati.
“maaf bu”
jawab leles
“Berapa
jawabannya??”
“Maaf bu,
saya tidak bisa menjawabnya”
“kenapa
gak bisa menjawab??”
“kamu
ndak belajar semalem??”
“bukan begitu
bu”
“lalu??”
“Maaf Bu,
saya ini adalah sebenarnya seorang intel yang sedang menyamar dikelas ini..
jadi saya tidak akan menjawab sebelum kasus yang saya tangani selesai...”
*tentunya sambil mengingis dong ah.
“KELUAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Jika tidak disuruh keluar,
maka opsi lain untuk leles adalah pojokan buku absensi yang tebel siap mendarat
di kepala Leles yang memang sering mengklaim dirinya seorang intel yang sedang
menyamar itu.
Nah, itu
kalau kasus dengan leles. Lalu, kalau aku gimana?? Pastilah beda perlakuan
bapak ibu guru terhadapku. Misal, kita coba taruh pada kasus yang sama, dengan
Bu Mia Darmiati dengan mata pelajaran yang sama, yakni matematika.
“Fuad, hasil dari (a+b)2 (*a ples b kuwadrat),
berapa ya le??” tuh, baru pertanyaannya aja udah sangat halus. Pakai tambahan “le”
di akhir kalimatnya...
“anu bu...” *garuk-garuk kepala
“anu apa leh ad??”
“ennggggg......
nganu bu Mia..” mulai keringetan
“nganu
kenapa?? Ayo dijawab Le...”
“itu bu..
saya ndak tahu jawabannya yang gimana...”
“aduh
le.. leee... Udah, ndak apa-apa, lain kali belajar yang rajin ya. Biar kalau
ditanya sama bapak ibu guru bisa menjawab.. ibu tahu kok kalo kamu itu siswa
yang sibuk..” –malah dibela.
Dan tau
gak, biasanya bu Mia mengucapkan itu sambil mendekat dan mengusap-usap rambutku
lho... tuhh, beda kan perlakuan kepada aku dan kepada Leles??? Kepalaku diusap-usap,
kepalanya Leles ditimpuk sama Pojokan buku absensi yang tebel...
Namun,
derita terbesar Leles bukanlah pada mata pelajaran matematika, melainkan Fisika
yang diampu oleh pak Eko. Seperti yang terjadi waktu itu, siang itu, dihari
yang beranjak agak siang tepat untuk mata pelajaran FISIKA. Momok menakutkan
bagi hampir seluruh siswa dikelasku. Apalagi bagi aku dan Leles.. heemmm.. bagi
kami, ketika ada pelajaran fisika, pengibaratan yang tepat adalah bagaikan main
air, ditanah becek yang gembur, yang bisa dicipratkan kemana aja kapan aja,
dengan keadaan gak pakai apa-apa, telanjang bulet, dan tempat kita bermain
adalah ditengah pasar yang lagi rame-ramenya. Gak kebayang kan gimana jadine???
Suasana yang
semula ramai karena para siswa saling minta bantuan untuk mengerjakan PR
mendadak menjadi hening. Pasti tahu penyebabnya. Iya, karena Pak Eko yang
mengampu mata pelajaran fisika datang dan memasuki ruang kelas kami. Wajah tegang
terlihat di hampir semua wajah siswa dikelasku. Jangankan mengeluarkan suara,
untuk sekedar bergerak pun sudah sangat berat. Kami hanya bisa melihat pak Eko menuliskan
beberapa soal di papan tulis. Baru setelah itu...
“pagi
anak-anak”
“pagi
pak!”
“maaf,
bapak tinggal sebentar, bapak ada perlu dikantor. Tapi kerjakan yang ada di
papan tulis”
“Yesss!!!”
batinku – tentunya juga batin anak-anak lain dikelasku.
Kelas kembali gaduh ketika
Pak Eko pergi meninggalkan kami. Dan tau gak?? Dari sekitar 30an siswa di
kelasku, hanya sekitar 3 atau 4 anak yang mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Yang
lainnya?? Jelas dung mereka bercanda-canda merasa bebas dari ancaman singa
lapar.
5 menit....
Belum ada tanda-tanda Pak
Eko kembali keruang kelas..
10
menit...
Belum ada bau-baunya pak
Eko...
15
Menit....
Kelas masih gaduh karena
pak Eko belum kembali...
Tiba-tiba...
Brakkkkk!!!!!!!!!
Pintu kelas dipukul dengan
keras!!
Kelas menjadi sehening
kuburan yang orang-orang matinya pada ngungsi karena ada bencana tanah longsor
dan banjir. Mereka ngungsi dengan mencincing kain kafan yang mereka pakai
selimut untuk tidurnya sembari teriak-teriak helep mi helep mi...
Ternyata pak
Eko sudah kembali. Dan beliau marah dengan apa yang terjadi. Beliau marah
karena ternyata sepeninggal beliau, anak-anak dikelas pada ramai..
Dengan wajah garang dan
merah, pak Eko mulai megeluarkan suara.
“pinter!!!
Bukannya ngerjain tugas malah pada main-main!!!”
Kami semakin tegang
“mau jadi
apa kalian?? Mau jadi preman??!!! Haaa!!!!”
Kami semakin merasa
terintimidasi. Kulirik Agus yang duduk dipojokan mulai mengecil telinganya. Hasan
yang duduk didekatnya terlihat mengecil kepalanya karena saking takutnya, dan
leles?? Kulihat kemaluannya yang semakin mengecil karena menahan rasa takut
yang sangat. Aneh... benar-benar aneh makhluk ini... fikirku..
“sampai dimana pekerjaan
kalian??!!!”
Demi menghindari hal-hal yang tidak di inginkan, aku
jawil-jawil leles dan kubisikkan untuk pura-pura mengerjakan soal di buku
masing-masing. Namun, entah setan apa yang hari itu merasuki pak Eko, beliau
tiba-tiba berinisiatif untuk berkeliling. Dan entah setan mana lagi yang
menuntun, bangku deretanku saja yang beliau periksa. Mungkin beliau merasa biang
dari kebobrokan kelas ini ada dideretan bangkuku. Oya, perlu diketahui, waktu
kelas I, dulu aku masuk di kelas I.2, dan duduk dideret paling kiri, didepan
meja guru. Aku duduk bangku terdepan paling kiri, bersebelahan dengan leles. Belakangku
ada Achmadi dan Lutfi opyok, belakangnya lagi Sya’roni anak mbamban, dan Agus
Mbing Sudarto,.. dan aku yakin, hanya aku dan Leles sajalah yang belum
mengerjakan tugas dari pak Eko. Karena kulihat walaupun mereka tegang, tapi
raut wajahnya tidak menunjukkan kalo mereka belum mengerjakan tugas ini.
Benar sajalah... Agus Lolos dari hukuman, Sya’roni lolos
dari lubang buaya, achmadi lolos dari kegarangan pak Eko, Lutfi?? Dia lolos
juga karena sudah nyontek kerjaane orang lain. Lha?? Sekarang tinggal aku dan
Leles yang berharap-harap cemas. Seperti sudah diskenario dengan matang dalam
pilem-pilem india, dimana sang lakon datangnya selalu mendapat bagian terakhir,
pak Eko dengan langkah mantap mendatangi bangku tempat duduk kami berdua. Yang pertama
beliau tuju adalah aku. Beliau mengisyaratkan untuk melihat buku garapanku. Terus
terang aku sangat takut dengan kejadian selanjutnya. Karena disitu terpampang
jelas, hanya soal yang tertera dan juga 2 baris hasil pengerjaanku yang
asal-asalan tanpa tahu maksud dan tujuan pengerjaanku sendiri. Dengan kata
lain, hasil kerjaanku tidak mempunyai arah hidup, atau arah tujuan sama sekali.
Dengan istilah kasarnya “Ngawur Bawur”. Tapi apa yang terjadi selanjutnya
sangatlah diluar dugaanku. Pak Eko mengembalikan bukuku tanpa ada tindakan lain
selain mengulurkan tangan untuk kemudian mengambil buku garapan si leles.
Tiba-tiba wajah pak Eko Merah. Dengan mata agak mendelik,
beliau bertanya pada leles.
“apa ini??!!!”
Leles tak menjawab. Dia memilih diam. Namun, sejenak
kemudian...
PLAKKKKKK!!!! Tangan kiri pak Eko Melayang di pipi Leles
bagian kanan.
“ANJRIITTTT!!!” *ini murni reflek yang diucapkan oleh leles
karena kaget dengan tamparan telak yang dia terima. Menyadari hal itu, segera
dia hendak mengucapkan sesuatu... namun...
“APA KATAMUUU!!!!!??? KAMU BERANI NANTANGIN YA???!!!!”
Disusul kemudian..
PLAKKKKKK!!!!! Kali ini giliran tangan kanan Pak Eko yang
mengayun menerpa pipi kiri Leles.
“HADOOOHHHH!!!” dia hanya bisa berteriak. Menerima hadiah
kedua dari pak Eko.
Untuk kemudian, kelas
benar-benar menjadi hening dalam tempo waktu yang lama
“untuk semuanya saja,
jangan ada yang berani-berani nantangin saya. Jangan ada yang macem-macem!!”
*pak Eko memberikan peringatan bagi kami semua.
Sementara itu, Kulirik sebelah kananku. Terlihat Leles
meringis-ringis sembari menahan rasa sakit dikedua pipinya. Aku merasa geli
melihat wajahnya yang amburadul ketika itu. Terus terang, Aku juga merasa penasaran
dengan apa yang dikerjakan oleh Leles sehingga bisa-bisanya dia menjadi korban
keganasan Pak Eko dihari itu. Aku sendiri juga heran, karena setahuku, Leles
mengerjakan tugas itu bersamaku. Aku beranikan diri untuk mengambil buku
garapan Leles yang berada didepannya. Kubuka bagian tugasnya, dan aku sadari
dengan sesadar-sadarnya, bahwa APA YANG DIKERJAKAN LELES SAMA PERSIS DENGAN APA
YANG AKU KERJAKAN... lalu mengapa aku lolos tapi Leles mendapatkan 2 hadiah di
pipinya??? Segala yang terjadi memanglah sebuah misteri illahi.... xixixixxiix
No comments:
Post a Comment